Sabtu, 19 Maret 2016

resensi novel marmut merah jambu bab 3

Kelebihan novel :

-  Bahasa yang digunakan adalah bahasa sehari-hari dan itu mudah dipahami.
-  Alurnya mudah dimengerti.
- Buku Marmut Merah Jambu memberikan kesenangan bagi pembacanya, karena buku ini adalah buku komedi.
- Jika terdapat kata-kata sulit,penulis menjelskan di bagian catatan kaki buku.
- Isi buku sangat sesuai dengan kehidupan remaja pasa saat ini,sehingga membuat remaja(pembaca) tidak bosan dan mendapatkan banyak pelajaran dari buku tersebut.

Kekurangan novel :

- Adanya kalimat yang sumbang dalam beberapa bab.
- Adanya paragraf yang tidak selesai, sehingga baru bisa di pahami setelah membaca beberapa kali.

Perbandingan  :

Setelah sukses dengan buku-buku sebelumnya yaitu Kambing Jantan, Cinta Brontosaurus, Radikus Makankaskus dan Babi Ngesot. Yang paling terkenal adalah buku pertamanya yang berjudul Kambing Jantan yang telah dikomikkan dan difilmkan, pada tanggal 1 Juni 2010 Dika meluncurkan buku kelima-nya yang berjudul Marmut Merah Jambu. Marmut Merah Jambu adalah kumpulan tulisan komedi Raditya Dika yang dikemas dalam bentuk novel. Sebagian besar dari tiga belas tulisan ngawur di dalamnya adalah pengalaman dan observasi Dika dalam menjalani hal paling absurd (konyol) di dunia : Jatuh Cinta. Secara garis besar, buku ini adalah tentang pengalaman soal percintaan dan bagaimana memahami apa itu cinta melalui introspeksi ke dalam pengalaman-pengalaman Raditya Dika sendiri yang tertuang dalam cerita ini. Dilihat dari segi isi buku ini memuat tiga belas bab yang mengulasnya.

Kesimpulan :
Buku ini sangat cocok untuk anak remaja yang haus akan bacaan yang mengandung unsur komedi, karena sebagian besar buku ini merupakan lelucon. Selain itu buku ini juga menceritakan kisah cinta sang penulis dan itu bisa membuat pembaca menjadi tertarik dengan buku ini. Bahasa yang digunakan mudah dipahami karena menggunakan bahasa sehari-hari, harganya juga tidak terlalu tinggi serta alur yang digunakan juga mudah dimengerti.


resensi novel marmut merah jambu bab 2

bab 2

Identitas Buku :

a. Judul Buku : Marmut Merah Jambu
b. Genre Buku : Novel
c. Pengarang : Raditya Dika
d. Penerbit : Bukuné
e. Tempat Terbit : Jakarta
f. Tanggal Terbit : 1 Juni 2010
g. Tebal Buku : 222 halaman 13×20 cm

Cover Buku :

a.Unsur Instrinsik :
Tema : Sosial-Pengalaman pribadi
Alur : Maju
Penokohan : Dika : Dungu, jenaka, terlihat culun, pandai memrcahkan  kasus.
-Ina : Populer, baik, gengsian
-Mama :Panikan, sayang anak-anaknya
-Edgar : Tidak mau rugi
-Grup detektif : Konyol, hebat
-Ara : Baik, sahabat sejati

Sudut Pandang : Orang pertama pelaku utama

Latar :

Untuk Tempat : Dalam cerpen ini juga menggunakan latar tempat, lebih tepatnya daerah  Jakarta Selatan sering dituliskan di novel ini seperti Kemang, Pondok Indah  Mall, McD, dan lain sebagainya, dikarenakan tempat tinggal Radith yang berada di Jakarta  Selatan tepatnya di Cikatomas, Kebayoran. Walaupun tempat tinggal Radit memang tidak disebutkan dalam cerpen ini.

Untuk Waktu : Berhari-hari

Untuk Suasana : Lebih menggambarkan suasana hati Dika yang kadang senang kadang juga miris.

b.Unsur Ekstrinsik

Nilai-nilai : Nilai sosial tentang percintaan remaja
Bahasa : Bahasa sehari-hari (bahasa remaja)
Gaya Cerita: Diceritakan secara jenaka




resensi novel marmut merah jambu bab 1

Resensi Novel Marmut Merah Jambu

Bab 1

Raditya Dika merupakan seorang blogger dan penulis yang cukup terkenal dengan buku-bukunya yang bertemakan komedi atau sebagainya. Setelah sukses dengan buku-buku sebelumnya yaitu Kambing Jantan, Cinta Brontosaurus, Radikus Makankaskus dan Babi Ngesot. Yang paling terkenal adalah buku pertamanya yang berjudul Kambing Jantan yang telah dikomikkan dan difilmkan, pada tanggal 1 Juni 2010 Dika meluncurkan buku kelima-nya yang berjudul Marmut Merah Jambu. Marmut Merah Jambu adalah kumpulan tulisan komedi Raditya Dika yang dikemas dalam bentuk novel. Sebagian besar dari tiga belas tulisan ngawur di dalamnya adalah pengalaman dan observasi Dika dalam menjalani hal paling absurd (konyol) di dunia : Jatuh Cinta. Secara garis besar, buku ini adalah tentang pengalaman soal percintaan dan bagaimana memahami apa itu cinta melalui introspeksi ke dalam pengalaman-pengalaman Raditya Dika sendiri yang tertuang dalam cerita ini. Dilihat dari segi isi buku ini memuat tiga belas bab yang mengulasnya. Ada cerita cinta masa-masa puber saat SMP sampai sekarang ini, jatuh cinta diam-diam, cinta bertepuk sebelah tangan, cinta yang datang tidak disengaja, sampai di taksir sama dua cewek kembar aneh. Semuanya ditulis dengan gaya komedi dan konyol yang nggak akan ngebosenin.
Dalam pembahasan pada judul Pertemuan Terakhir dengan Ina Mangunkusumo. Menceritakan tentang bagaimana pertemuan Dika dengan seorang cewek yang pernah ia taksirnya pada masa SMA dulu, namanya Ina. Pada waktu SMA dulu Dika mengajak jalan-jalan cewek ini (diceritakan pada bab Pertemuan Pertama dengan Ina Mangunkusumo), pengalamanya itu terus berlanjut tanpa tertingal kesan yang berarti bagi Ina dan akhirnya mereka harus berpisah pada saat Dika yang kuliah di Adelaide. Sampai kemudian mereka bertemu kembali pada saat  Ina sudah bekerja di sebuah Event Organizer dan Dika telah menjadi penulis. Di kesempatan itu, Ina curhat dengan Dika tentang Anto yang menjadi cowoknya, yang selalu diceritakan Ina ke Dika pada waktu SMA dulu dan Ina ternyata masih menyimpan perasaan kepada Anto. Sampai akhirnya Anto bilang ke Ina kalau dia sudah punya pacar, saat itu Ina mulai sadar akan keberadaanya.
Sebenarnya di pertemuan ini Dika ingin memberi tau Ina kalau dia lagi membuat sebuah buku baru, yaitu Marmut Merah Jambu yang akan ada bab tentang perasaan cintanya tak terbalaskan pada Ina yang nggak pernah mengetahuinya. Dika mangatakannya  pada Ina tentang isi dari bukunya tersebut. Pada  salah satu bab buku ini ada cerita tentang cewek yang gak pernah bisa gue dapetin. Ina menaikkan alisnya, mulutnya kebuka setengah, lalu dia ketawa sekenceng – kencengnya, ‘HAHAHAHAH! Cinta tak terbalas? Serius? Lo ngapain peke nulis gituan segala sih?’
Muka Ina berubah jadi merah. Seolah-olah dia baru diceburkan ke dalam kuali. Sedangkan muka gue juga berubah jadi merah. Solah-olah gue ikutan nyebur dalam kuali, belepotan minta tolong.
“Bukan sama gue kan? Hahahahahah!” Ina ngomong ngasal.
“Eeeeeeerrr yah bukan, masa sama elo, bukan, iya lah bukan, hahahahah bukan hahahahah, gak segitunya, ge’er lo!” gue mulai meracau. Kampret……
Ina menghela napasnya. Dia berkata, ‘Lo tau gak sih. Menurut gue pemikiran yang bilang, “kita hanya bisa sempurna jika ketemu dengan soulmate kita” itu pemikiran yang jahat banget.’
‘Maksudnya?’
‘Gini lho,’ kata Ina. Sekarang dia melihat ke mata gue tajam. ‘Kenapa kita baru bisa dibilang komplit dengan kehadiran orang lain itu? Kenapa gak dengan kehadiran sebuah barang, atau…atau hobi, baru kita dibilang komplit? Kenapa harus dihubungkan dengan orang lain? Kenapa kesempurnaan hidup kita, sebagai manusia, harus ditandai bahwa kita udah bisa ketemu dengan soulmate kita?’
Bagaimana dengan orang yang memilih untuk tidak pernah mencintai orang lain? Atau, ini yang paling parah: bagaimana dengan orang yang cintanya selalu bertepuk sebelah tangan?
Unrequited love (cinta tak terbalas), adalah hal yang paling bisa bikin kita ngis tanah. Untuk tau kalau cinta kita tak terbalas, rasanya seperti bahwa kita tidak pantas untuk mendapatkan orang tersebut. Rasanya, seperti diingatkan bahwa kita, memang tidak sempurna, atau setidaknya tidak cukup sempurna untuk orang tersebut.
Cerita berakhir dengan memberikan kita sesuatu momen perenungan yang intinya tentang keberadaan seseorang yang takkan bisa kita lupakan sepenuhnya. Orang yang, (mengutip Charlie Brown yang sangat suka selai kacang dari komik Peanuts) menghilangkan rasa selai kacang Dari lidah kita. Buat Dika, Ina adalah orang yang menghilangkan rasa selai kacang di lidahnya.
Yang awalnya Dika ingin membocorkan rahasia isi bukunya, pada pertemuan itu pula Dika mengurungkan niatnya sampai akhirnya buku ini terbit. Itulah hal ter-manis yang Dika lakukan.
Kemudian bab yang akan di review (kutip) dalam resensi ini yaitu bab terakhir yang menjadi favorit saya (peresensi). Di bagian bab Marmut Merah Jambu inilah kita bisa melihat sisi aslinya sang penulis Raditya Dika.
….Dia melihat gue dan bilang dengan sungguh – sungguh, ‘Kita bakalan kayak gini terus, kan?’
‘Aku pengen kita begini terus,’ kata gue, sambil mempererat genggaman gue.
Saat itu gue sadar, inilah apa yang coba gue (Dika) coba tulis di buku Marmut Merah Jambu ini: tentang bagaimana manusia pacaran, tentang manusia jatuh cinta, tentang gue jatuh cinta. Dari mulai bagaimana jatuh cinta diam – diam, sampai naksir via chatting. Dari mulai susahnya mutusin cwek, sampai ditaksir sama cewek aneh. Dari mulai kita nembak cewe, sampai akhirnya membuat janji seperti lazimnya orang pacaran lainnya, seperti: kita bakalan kayak gini terus. Janji yang terkadang gak bisa ditetapi.
Dika memulai memahami tentang cinta melalui introspeksi ke dalam pengalaman-pengalaman Dika sendiri. Pada halaman terakhir Marmut Merah Jambu ini, Dika merasa… tetap tidak mengerti, sama seperti Dika memulai halaman pertama.
Alih-alih seperti belalang, Dika merasa seperti seekor marmut merah jambu yang terus-menerus jatuh cinta, loncat dari satu relationship (hubungan) ke relationship yang lainnya, mencoba terus berlari di dalam roda bernama cinta, seolah-olah maju, tapi tidak… karena sebenarnya jalan di tempat. Seperti marmut yang tidak tau kapan harus berhenti berlari di roda yang berputar. Dari tulisan-tulisan Dika yang telah ada, saya rasa pengunaan gaya bahasa pada novel ini lebih halus dan sewajarnya di banding dengan tulisan yang lainya.
Jadi, para pembaca bisa mengambil maknanya dari buku ini adalah bagaimana kita bisa berkaca dari pengalaman-pengalaman Dika untuk bisa menjadi lebih baik dan bagaiman kita bisa menertawakan dan have fun dengan kesalahan / kekeliruan / kekurangan yang kita miliki sekarang. Bukan berarti kita tidak tau diri dan tidak punya malu. Hanya saja, ketika kita tak sengaja membuat kesalahn, kita jangan terlalu terpekur, tertegun dan merenungi nasib hingga depresi. Seharusnya, hal tersebut dapat dijadikan pengalaman untuk lebih baik, tidak perlu sembunyi akan kesalahan tersebut, bahkan kita dapat mengungkapkannya lewat sebuah cerita yang di tulis di blog yang akhirnya tak disangka bisa dijadikan novel seperti Raditya Dika. Tentu saja dengan tujuan supaya kita bisa lebih baik lagi pada waktu yang akan datang.
Buku Marmut Merah Jambu ini ditulis dengan bahasa sehari-hari  Dika atau bahasa khas gaul anak Jakarta yang menimbulkan ciri khas buku ini. Buku ini juga dapat menimbulkan perasaan capur aduk bagi pembaca, antara termenung sejenak, mengingatkan hidup mereka, ketawa, miris, bahagia denga senyuman tebal yang tergambarkan dalam novel ini. Dilihat dari fisiknya, buku ini lebih tebal, dan lebih berbobot. Cover depannya memiliki warna dan gambar yang lebih terang,cerah dan jelas. Kertas yang digunakan juga mempunyai kualitas yang bagus. Terdapat pula pembatas buku yang pada cetakan pertama berbentuk kaos dan cetakan kedua berbentuk marmut yang menambah bagusnya buku ini.
Dalam sebuah buku tentunya terdapat kekurangan dan kelebihan. Tak terkecuali buku ini. Sayangnya dalam buku ini terdapat beberapa kalimat yang tidak lengkap atau hilang pada beberapa bab yang mungkin akibat kesalahan pada bagian editing atau sebagainya. Contohnya pada bab Pertemuan Pertama dengan Ina Mangunkusumo, ada paragraph yang tidak selesai dan sehingga membuat pembaca merasa kebingungan dalam memahaminya. Dari buku pertama hingga buku terakhir yang telah diselesaikan raditya diki menurut saya semuanya memiliki daya tarik yang cukup besar bagi pengemar-pengemarnya. Juga bagus untuk kita baca dan ikuti perkembanyanya dari karya raditya dika tersebut.