Resensi Novel Marmut Merah Jambu
Bab 1
Raditya Dika merupakan seorang blogger dan penulis yang
cukup terkenal dengan buku-bukunya yang bertemakan komedi atau sebagainya.
Setelah sukses dengan buku-buku sebelumnya yaitu Kambing Jantan, Cinta
Brontosaurus, Radikus Makankaskus dan Babi Ngesot. Yang paling terkenal adalah
buku pertamanya yang berjudul Kambing Jantan yang telah dikomikkan dan
difilmkan, pada tanggal 1 Juni 2010 Dika meluncurkan buku kelima-nya yang
berjudul Marmut Merah Jambu. Marmut Merah Jambu adalah kumpulan tulisan komedi
Raditya Dika yang dikemas dalam bentuk novel. Sebagian besar dari tiga belas
tulisan ngawur di dalamnya adalah pengalaman dan observasi Dika dalam menjalani
hal paling absurd (konyol) di dunia : Jatuh Cinta. Secara garis besar, buku ini
adalah tentang pengalaman soal percintaan dan bagaimana memahami apa itu cinta
melalui introspeksi ke dalam pengalaman-pengalaman Raditya Dika sendiri yang
tertuang dalam cerita ini. Dilihat dari segi isi buku ini memuat tiga belas bab
yang mengulasnya. Ada cerita cinta masa-masa puber saat SMP sampai sekarang
ini, jatuh cinta diam-diam, cinta bertepuk sebelah tangan, cinta yang datang
tidak disengaja, sampai di taksir sama dua cewek kembar aneh. Semuanya ditulis
dengan gaya komedi dan konyol yang nggak akan ngebosenin.
Dalam pembahasan pada judul Pertemuan Terakhir dengan Ina
Mangunkusumo. Menceritakan tentang bagaimana pertemuan Dika dengan seorang
cewek yang pernah ia taksirnya pada masa SMA dulu, namanya Ina. Pada waktu SMA
dulu Dika mengajak jalan-jalan cewek ini (diceritakan pada bab Pertemuan
Pertama dengan Ina Mangunkusumo), pengalamanya itu terus berlanjut tanpa
tertingal kesan yang berarti bagi Ina dan akhirnya mereka harus berpisah pada
saat Dika yang kuliah di Adelaide. Sampai kemudian mereka bertemu kembali pada
saat Ina sudah bekerja di sebuah Event Organizer dan Dika telah menjadi
penulis. Di kesempatan itu, Ina curhat dengan Dika tentang Anto yang menjadi
cowoknya, yang selalu diceritakan Ina ke Dika pada waktu SMA dulu dan Ina
ternyata masih menyimpan perasaan kepada Anto. Sampai akhirnya Anto bilang ke
Ina kalau dia sudah punya pacar, saat itu Ina mulai sadar akan keberadaanya.
Sebenarnya di pertemuan ini Dika ingin memberi tau Ina
kalau dia lagi membuat sebuah buku baru, yaitu Marmut Merah Jambu yang akan ada
bab tentang perasaan cintanya tak terbalaskan pada Ina yang nggak pernah
mengetahuinya. Dika mangatakannya pada Ina tentang isi dari bukunya
tersebut. Pada salah satu bab buku ini ada cerita tentang cewek yang gak
pernah bisa gue dapetin. Ina menaikkan alisnya, mulutnya kebuka setengah, lalu
dia ketawa sekenceng – kencengnya, ‘HAHAHAHAH! Cinta tak terbalas? Serius? Lo
ngapain peke nulis gituan segala sih?’
Muka Ina berubah jadi merah. Seolah-olah dia baru
diceburkan ke dalam kuali. Sedangkan muka gue juga berubah jadi merah.
Solah-olah gue ikutan nyebur dalam kuali, belepotan minta tolong.
“Bukan sama gue kan? Hahahahahah!” Ina ngomong ngasal.
“Eeeeeeerrr yah bukan, masa sama elo, bukan, iya lah
bukan, hahahahah bukan hahahahah, gak segitunya, ge’er lo!” gue mulai meracau.
Kampret……
Ina menghela napasnya. Dia berkata, ‘Lo tau gak sih.
Menurut gue pemikiran yang bilang, “kita hanya bisa sempurna jika ketemu dengan
soulmate kita” itu pemikiran yang jahat banget.’
‘Maksudnya?’
‘Gini lho,’ kata Ina. Sekarang dia melihat ke mata gue
tajam. ‘Kenapa kita baru bisa dibilang komplit dengan kehadiran orang lain itu?
Kenapa gak dengan kehadiran sebuah barang, atau…atau hobi, baru kita dibilang
komplit? Kenapa harus dihubungkan dengan orang lain? Kenapa kesempurnaan hidup
kita, sebagai manusia, harus ditandai bahwa kita udah bisa ketemu dengan
soulmate kita?’
Bagaimana dengan orang yang memilih untuk tidak pernah
mencintai orang lain? Atau, ini yang paling parah: bagaimana dengan orang yang
cintanya selalu bertepuk sebelah tangan?
Unrequited love (cinta tak terbalas), adalah hal yang
paling bisa bikin kita ngis tanah. Untuk tau kalau cinta kita tak terbalas,
rasanya seperti bahwa kita tidak pantas untuk mendapatkan orang tersebut.
Rasanya, seperti diingatkan bahwa kita, memang tidak sempurna, atau setidaknya
tidak cukup sempurna untuk orang tersebut.
Cerita berakhir dengan memberikan kita sesuatu momen
perenungan yang intinya tentang keberadaan seseorang yang takkan bisa kita
lupakan sepenuhnya. Orang yang, (mengutip Charlie Brown yang sangat suka selai
kacang dari komik Peanuts) menghilangkan rasa selai kacang Dari lidah kita.
Buat Dika, Ina adalah orang yang menghilangkan rasa selai kacang di lidahnya.
Yang awalnya Dika ingin membocorkan rahasia isi bukunya,
pada pertemuan itu pula Dika mengurungkan niatnya sampai akhirnya buku ini
terbit. Itulah hal ter-manis yang Dika lakukan.
Kemudian bab yang akan di review (kutip) dalam resensi
ini yaitu bab terakhir yang menjadi favorit saya (peresensi). Di bagian bab
Marmut Merah Jambu inilah kita bisa melihat sisi aslinya sang penulis Raditya
Dika.
….Dia melihat gue dan bilang dengan sungguh – sungguh,
‘Kita bakalan kayak gini terus, kan?’
‘Aku pengen kita begini terus,’ kata gue, sambil
mempererat genggaman gue.
Saat itu gue sadar, inilah apa yang coba gue (Dika) coba
tulis di buku Marmut Merah Jambu ini: tentang bagaimana manusia pacaran,
tentang manusia jatuh cinta, tentang gue jatuh cinta. Dari mulai bagaimana
jatuh cinta diam – diam, sampai naksir via chatting. Dari mulai susahnya
mutusin cwek, sampai ditaksir sama cewek aneh. Dari mulai kita nembak cewe, sampai
akhirnya membuat janji seperti lazimnya orang pacaran lainnya, seperti: kita
bakalan kayak gini terus. Janji yang terkadang gak bisa ditetapi.
Dika memulai memahami tentang cinta melalui introspeksi
ke dalam pengalaman-pengalaman Dika sendiri. Pada halaman terakhir Marmut Merah
Jambu ini, Dika merasa… tetap tidak mengerti, sama seperti Dika memulai halaman
pertama.
Alih-alih seperti belalang, Dika merasa seperti seekor
marmut merah jambu yang terus-menerus jatuh cinta, loncat dari satu
relationship (hubungan) ke relationship yang lainnya, mencoba terus berlari di
dalam roda bernama cinta, seolah-olah maju, tapi tidak… karena sebenarnya jalan
di tempat. Seperti marmut yang tidak tau kapan harus berhenti berlari di roda
yang berputar. Dari tulisan-tulisan Dika yang telah ada, saya rasa pengunaan
gaya bahasa pada novel ini lebih halus dan sewajarnya di banding dengan tulisan
yang lainya.
Jadi, para pembaca bisa mengambil maknanya dari buku ini
adalah bagaimana kita bisa berkaca dari pengalaman-pengalaman Dika untuk bisa
menjadi lebih baik dan bagaiman kita bisa menertawakan dan have fun dengan
kesalahan / kekeliruan / kekurangan yang kita miliki sekarang. Bukan berarti
kita tidak tau diri dan tidak punya malu. Hanya saja, ketika kita tak sengaja
membuat kesalahn, kita jangan terlalu terpekur, tertegun dan merenungi nasib
hingga depresi. Seharusnya, hal tersebut dapat dijadikan pengalaman untuk lebih
baik, tidak perlu sembunyi akan kesalahan tersebut, bahkan kita dapat
mengungkapkannya lewat sebuah cerita yang di tulis di blog yang akhirnya tak
disangka bisa dijadikan novel seperti Raditya Dika. Tentu saja dengan tujuan
supaya kita bisa lebih baik lagi pada waktu yang akan datang.
Buku Marmut Merah Jambu ini ditulis dengan bahasa
sehari-hari Dika atau bahasa khas gaul anak Jakarta yang menimbulkan ciri
khas buku ini. Buku ini juga dapat menimbulkan perasaan capur aduk bagi
pembaca, antara termenung sejenak, mengingatkan hidup mereka, ketawa, miris,
bahagia denga senyuman tebal yang tergambarkan dalam novel ini. Dilihat dari
fisiknya, buku ini lebih tebal, dan lebih berbobot. Cover depannya memiliki
warna dan gambar yang lebih terang,cerah dan jelas. Kertas yang digunakan juga
mempunyai kualitas yang bagus. Terdapat pula pembatas buku yang pada cetakan
pertama berbentuk kaos dan cetakan kedua berbentuk marmut yang menambah
bagusnya buku ini.
Dalam sebuah buku tentunya terdapat kekurangan dan
kelebihan. Tak terkecuali buku ini. Sayangnya dalam buku ini terdapat beberapa
kalimat yang tidak lengkap atau hilang pada beberapa bab yang mungkin akibat
kesalahan pada bagian editing atau sebagainya. Contohnya pada bab Pertemuan
Pertama dengan Ina Mangunkusumo, ada paragraph yang tidak selesai dan sehingga
membuat pembaca merasa kebingungan dalam memahaminya. Dari buku pertama hingga
buku terakhir yang telah diselesaikan raditya diki menurut saya semuanya
memiliki daya tarik yang cukup besar bagi pengemar-pengemarnya. Juga bagus
untuk kita baca dan ikuti perkembanyanya dari karya raditya dika tersebut.